1.6.09

“No Tobacco Day”


Kalo dikonfersikan dalam Bahasa Indonesia kira2 artinya adalah Peringatan Hari Tanpa Tembakau, yang diperingati pada setiap tanggal 31 Mei. Seluruh dunia memperingati hari tersebut untuk menghormati hak-hak masyarakakat bukan perokok, serta untuk mengingatkan akan bahayanya rokok terhadap kesehatan manusia.

Tobacco health warnings, adalah peringatan bagi kita tentang bahayanya suatu benda yg bernama rokok yg bahan bakunya adalah tembakau, karena mengandung sekitar 4000 zat kimia yang 69 diantaranya bersifat karsinogen, yakni zat penyebab kangker. Zat itu berupa aseton atau sejenis bahan dasar cat, ammonia seperti pada pembersih lantai, arsen atau racun, butane atau sejenis bahan bakar ringan, cadmium seperti pada aki mobil, karbon monoksida seperti asap knalpot motor, serta DDT atau insektisida.

Korban rokok sering tidak disadari masyarakat karena meninggal akibat sakit. Kanker, misalnya, bermanifestasi setelah 20-30 tahun merokok. Kalau kebiasaan merokok dimulai usia remaja, pelbagai penyakit itu bermanifestasi dan ajal siap menjemput di usia 50 tahunan.

Seperti ditulis dalam The Tobacco Atlas terbitan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), merokok menjadi penyebab 90 persen kasus kanker paru, 75 persen kasus penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan emfisema, serta 25 persen gangguan jantung.

Selain itu berdampak juga terhadap kerugian ekonomi.

Menurut data Bank Dunia tahun 1990, saat cukai rokok yang diterima Pemerintah Indonesia Rp 2,6 trilyun, kerugian ekonomi akibat rokok yang harus ditanggung rakyat sebesar Rp 14,5 trilyun. Karena saat itu pemerintah hanya mengeluarkan Rp 1,7 trilyun untuk sektor kesehatan, maka sebagian besar biaya kesehatan akibat merokok harus ditanggung masyarakat. Kalau penderita dirawat di rumah sakit pemerintah, artinya orang itu menikmati subsidi kesehatan dari pajak masyarakat yang sebagian nonperokok.

Saat berbagai negara-termasuk negara berkembang di Asia Tenggara-memperketat peraturan soal rokok untuk melindungi kesehatan rakyatnya, Indonesia justru menjadi surga bagi industri rokok. Tiadanya komitmen pemerintah terhadap kesehatan masyarakat makin tecermin dengan dihapuskannya batasan tar dan nikotin dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.

Padahal, asap rokok secara ilmiah sudah terbukti menyebabkan setidaknya 25 jenis penyakit, dan data dari Bank Dunia tahun 1990 menunjukkan, biaya kesehatan yang harus dikeluarkan akibat rokok hampir enam kali lipat penerimaan negara dari cukai rokok.

"Karena perdebatan politik, masalah rokok antarsektor di pemerintahan akan makan waktu panjang dan belum tentu berujung pada kebijakan yang menguntungkan kesehatan masyarakat, tak ada jalan lain bagi keluarga sebagai unit terkecil masyarakat selain menghargai kesehatan dan menyadari bahaya rokok untuk menekan jatuhnya korban," kata ahli paru dan mantan Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Tjandra Yoga Aditama MARS SpP(K), Senin (10/3). Hal ini terjadi karena telah berkembang mitos yang meng-klaim bahwa industri rokok menjadi gantungan hidup jutaan manusia padahal fakta yang sebenarnya adalah industri rokok hanya berkontribusi enam persen pada lapangan kerja.

Pertumbuhan keuntungan produsen rokok yang sangat besar dari tahun ke tahun tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan pendapatan buruh industri rokok. Mereka hidup melarat, mayoritas dengan status buruh kontrak walau bekerja puluhan tahun.
Demikian juga buruh tani tembakau. Survei sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jember menunjukkan, mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, banyak anak dipekerjakan di perkebunan tembakau dengan upah minim dan jam kerja panjang.

Seharusnya pemerintah menerapkan cukai progresif seperti yang dilakukan negara lain sehingga tetap mendapat pemasukan tinggi tanpa merugikan kesehatan rakyat. Cukai rokok di Indonesia yang berkisar 6-40 persen-tergantung jenis rokok dan besar kecilnya industri rokok-masih bisa dinaikkan sampai 50-70 persen seperti di negara maju.

"Dengan demikian, pendapatan tetap tinggi, namun konsumsi rokok pasti berkurang karena banyak yang tak mampu lagi membeli,"

Data WHO menunjukkan, tidak hanya Singapura yang menerapkan kawasan bebas asap rokok secara ketat dan melarang total iklan rokok, tetapi juga Cina, Thailand, Sri Lanka, Nepal, dan Myanmar.

Sebagai kompensasi revisi itu, kalangan LSM meminta pemerintah memperketat iklan rokok. "Kalau tidak bisa dilarang sama sekali, sebaiknya iklan rokok hanya boleh ditayangkan pukul 24.00-05.00," kata Ketua Umum Komisi Nasional Penanggulangan Masalah Merokok dr Merdias Almatsier, Sp S (K).

"Jika pemerintah tidak menjalankan tugasnya menjaga kesehatan penduduk, menjadi kewajiban kepala keluarga untuk menjaga kesehatan keluarganya. Perusahaan juga perlu menerapkan kawasan bebas dari asap rokok untuk menjaga kesehatan karyawan mengingat biaya pengobatan sangat besar," papar Tjandra.

Nah...apakah masih berpendapat bahwa merokok itu nikmat ?
Sumber: Kompas, 11 Maret 2003

3 komentar:

  1. merokok menjadi fenomena yang aneh..wlaupun diperingatkan bagaimanapun tetap saja ga ada artinya..kalau sudah ga ada nafas baru deh...

    kalau pabriknya ditutup gimana ya?..pastinya banyak pengangguran..hehehe..
    jadi repot harus gimana..hohoho

    BalasHapus
  2. ya nikmat sih ngebakar duit hihi

    BalasHapus
  3. sebenarnya merokok itu ngga' nikmat, tapi saya susah untuk meninggalkan kebiasaan merokok..
    peace..

    BalasHapus

Trims untuk Komentar Anda ....